Senin, 16 Januari 2012

Myanmar atau Burma, Mana yang Benar?

Myanmar atau Burma, Mana yang Benar?

Indonesia, sebagaimana ASEAN, mengenalnya sebagai Myanmar. Namun, negara-negara Barat masih banyak yang menyebutnya Burma. Mana yang benar?

Sejarahnya, kedua kata itu memiliki arti yang sama. Yang satu berasal dari lainnya, dan sebaliknya. Burma, demikian disebut pada abad ke-19, merupakan istilah lokal yang digunakan untuk kata Myanmar.

Secara domestik, menurut antropolog Gustaaf Houtman yang banyak menulis sejarah Myanmar, kedua kata itu sudah digunakan sejak lama. Jika Myanmar terdengar lebih formal, maka Burma seperti istilah sehari-harinya.

“Myanmar bentuk yang digunakan dalam seremonial dan catatan pemerintah. Perubahan nama itu sebenarnya hanya bentuk penyensoran saja,” ujarnya. Saat menulis untuk publikasi, penduduk akan menyebutnya Myanmar dan jika berbicara, mereka menyebutnya Burma.

Menurut Houtman, rezim junta menekankan isu formal dan informal ini. Ada latar belakang politik yang menggerakkan mereka. Pakar bahasa University of Western England Richard Coates menyatakan, pemerintah junta ingin melepaskan diri dari kolonial dengan nama formal.

“Kelompok oposisi lokal tak menerimanya dan memilih nama lama. Setidaknya hingga pemerintah sah. Sehingga ada juga pejabat pemerintah yang masih menyebut Burma,” ujarnya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan istilah Myanmar dan membebaskan setiap anggotanya untuk menentukan sendiri ingin menyebut apa. Detil-detil perubahan ini juga telah dicatat PBB. “Sepertinya Uni Eropa menggunakan kedua istilah itu,” kata Coates.

Beberapa negara lainnya juga banyak yang mengganti nama negara. Seperti Iran yang tadinya dikenal Persia, Burkina Faso yang tadinya Upper Volta dan Kamboja yang tadinya Kampuchea. “Mereka mengganti istilah lokal agar mendapatkan satu pengakuan internasional, untuk kepentingan nasional dan alasan sejarah,” tutur Coates.

Tak ada yang salah, keduanya istilah yang merujuk pada negara beribukota Rangoon itu. Saat masih dipimpin pemerintah junta militer, nama Burma diubah menjadi Myanmar pada 1989 lalu. Setahun sebelumnya, ribuan orang tewas dalam unjuk rasa.

Rangoon pun tadinya dikenal sebagai Yangoon. Undang-Undang Adaptation of Expression kemudian dikenalkan, memberi nama Inggris untuk beberapa kota lain yang secara etnis bukan termasuk Burma. Perubahan nama ini kemudian diakui oleh PBB dan negara seperti Prancis dan Jepang.

Namun, Amerika Serikat (AS) dan Inggris tidak. Menurut Kementerian Pertahanan Inggris, mereka memilih tetap menyebut Burma karena tidak menerima legitimasi pemerintah junta militer yang meresmikan nama itu.

Media-media Barat pun tak mengubah istilah Burma, dengan alasan sudah lebih familiar dengan istilah itu. Namun buku panduan Lonely Planet untuk Asia, menuliskan Burma yang diletakkan setelah Mongolia dan bukan setelah Brunei, sesuai urutan abjadnya.

“Terkadang, kita bisa tahu apakah orang bersimpati dengan penggunaan istilah. Myanmar sepertinya indikasi sebuah negara yang rezimnya lebih lembut. Tapi, ini tak benar-benar penting,” ujar aktivis Burma Campaign UK, Mark Farmener.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar